top of page
Menulis Untuk Berbagi
Ilmu dan Pengalaman
Artikel Perpajakan dan Akuntansi
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang terutang atas penghasilan, antara lain penghasilan dari gaji, penghasilan dari laba usaha, penghasilan berupa hadiah, dan penghasilan berupa bunga. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterimanya dalam 1 (satu) tahun pajak. PPh yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak harus dilunasi pembayarannya oleh Wajib Pajak dan Undang-Undang Pajak Penghasilan telah mengatur cara pelunasan PPh yang terutang oleh Wajib Pajak, yaitu dengan cara membayar sendiri dan melalui pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak lain. Apapun cara pelunasannya, baik membayar sendiri maupun melalui pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, Wajib Pajak diharapkan dapat memahami dengan tepat cara menghitung PPh yang terutang, bagaimana pembayarannya, dan mekanisme pelaporan PPh yang telah dibayar tersebut. PPh yang dipotong dan/atau dipungut melalui pihak lain lebih dikenal dengan istilah PPh Potput. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang PPh, PPh Potput terdiri atas PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Objek PPh Potput terdiri atas berbagai macam penghasilan, antara lain penghasilan dari pekerjaan, pemberian jasa, sewa bangunan, dan dividen.
PPh Pasal 4 ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan salah satu cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan/pemungutan dan/atau penyetoran sendiri pajak yang bersifat final atas penghasilan tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang telah diatur antara lain adalah:
1. Bunga Deposito dan Tabungan Lainnya
a. Objek PPh yang bersifat final adalah bunga deposito, bunga tabungan lainnya, dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
b. Besarnya PPh yang bersifat final yang dipotong adalah 20% dari jumlah bruto, sebagaimana ditunjukkan dalam bagan di bawah ini:
​
​
​
​
​
​
c. Yang tidak dipotong PPh yang bersifat final adalah:
1) bunga dari deposito/tabungan/SBI sepanjang jumlah deposito/tabungan/SBI tidak lebih dari Rp7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
2) bunga diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
3) bunga deposito/tabungan/diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun;
4) bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
d. Pembebasan PPh yang bersifat final dapat diberikan dengan penerbitan Surat Keterangan Bebas atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan perubahannya.
e. Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan berupa bunga deposito/bunga tabungan/diskonto SBI adalah:
»» Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000;
»» Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04 /2001;
»» Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2013.
2. Bunga Obligasi dan Surat Utang Negara
a. Objek PPh yang bersifat final adalah Bunga Obligasi, berupa imbalan yang diterima pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
b. Diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan Obligasi dapat diperhitungkan dengan penghasilan bunga berjalan.
c. Skema tarif pemotongan PPh yang bersifat final dan dasar pengenaan pajak atas penghasilan berupa Bunga Obligasi adalah sebagai berikut:
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
d. Tidak dilakukan pemotongan PPh bersifat final atas bunga obligasi yang diterima oleh:
1) Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan
2) Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
e. Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan berupa Bunga Obligasi adalah:
»» Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009;
»» Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.011/2012.
3. Bunga Simpanan yang Dibayarkan Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi
a. Objek PPh yang bersifat final adalah bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi.
b. Besarnya tarif pemotongan PPh yang bersifat final adalah:
☞ 0% (nol persen) untuk bunga simpanan sampai dengan Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
☞ 10% (sepuluh persen) untuk bunga simpanan lebih dari Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.
c. Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi adalah:
»» Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009;
»» Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/ 2010.
4. Hadiah Undian
a. Objek PPh yang bersifat final adalah hadiah undian, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
b. Tarif pemotongan PPh yang bersifat final adalah 25% dari jumlah bruto hadiah undian dan dipotong oleh penyelenggara undian.
PPh Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Hadiah Undian 25 % dari jumlah bruto Hadiah Undian
c. Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan berupa hadiah undian adalah Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000.
5. Transaksi Saham
a. Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari penjualan saham di bursa.
b. Tarif pemungutan PPh yang bersifat final adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham.
c. Khusus untuk transaksi penjualan saham pendiri berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) transaksi penjualan saham pendiri dikenakan tambahan PPh dengan tarif 0,5% (setengah persen) dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1996;
2) dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari 1997, maka nilai saham pendiri ditetapkan sebesar harga saham pada saat penawaran umum perdana;
3) Penyetoran tambahan PPh atas saham pendiri dilakukan oleh emiten atas nama pemilik saham pendiri:
a) selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 (tanggal 29 Mei 1997), apabila saham perusahaan telah diperdagangkan di bursa efek sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 ditetapkan;
b) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa, apabila saham perusahaan baru diperdagangkan di bursa efek pada saat atau setelah Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 ditetapkan (tanggal 29 Mei 1997);
d. Wajib Pajak yang memilih untuk memenuhi kewajiban PPhnya tidak berdasarkan angka 3), atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri dikenakan PPh sesuai dengan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang PPh.
e. Dengan demikian tarif pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 4 ayat (2) atas Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
☞ 0,1 % x Nilai transaksi penjualan saham
☞ tambahan 0,5% x nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1996; atau
☞ tambahan 0,5% x nilai saham pada saat penawaran umum perdana dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari 1997
f. Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa adalah:
»» Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997;
»» Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/ 1997.
6. Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
a. Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati.
b. Tarif PPh yang bersifat final atas pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan:
1) selain Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan tersebut;
2) bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan:
a) 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan untuk pengalihan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana; dan
b) 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan untuk pengalihan lainnya.
Usaha Pokok Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan => 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan untuk pengalihan Rumah Sederhanadan Rumah Susun Sederhana; dan 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan
Untuk pengalihan lainnya => Bukan Usaha Pokok 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan
c. Pembebasan PPh yang bersifat final:
1) Diberikan dengan penerbitan Surat Keterangan Bebas:
a) orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang jumlah bruto pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b) orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
c) badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan sehubungan dengan hibah yang diberika kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
d) pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan warisan.
2) diberikan secara langsung tanpa penerbitan Surat Keterangan Bebas:
a) orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
b) pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.
d. Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilaiberdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
e. diketahui berdasarkan data atau kejadian sebenarnya, jumlah bruto nilai pengalihan menurut akta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maupun Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan lebih rendah dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang sebenarnya, maka besarnya Pajak Penghasilan dihitung dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang sebenarnya.
f. Dalam hal pengalihan hak kepada instansi Pemerintah maka nilai pengalihan hak adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan.
g. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dilakukan oleh cabang. Namun seluruh pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan di cabang harus dikonsolidasi oleh pusat dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
h. Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah :
»» Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008;
»» Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/ 2008;
»» Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/ PJ/2010;
»» Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/ PJ/2009;
»» Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/ PJ/2009;
»» Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2013.
​
7. Jasa Konstruksi
a. Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
b. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
c. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik
lain.
d. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya
pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
e. Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
f. Skema tarif dan dasar pengenaan PPh yang bersifat final untuk Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
​
g. PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi:
1) dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
2) disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak;
3) dalam hal:
a) terdapat selisih kekurangan PPh yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan PPh berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri, selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa;
b) nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna Jasa, atas Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang PPh yang bersifat final, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih;
»» Piutang yang tidak dapat ditagih merupakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
»» Dalam hal piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat ditagih kembali, tetap dikenakan PPh yang bersifat final.
h. Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi adalah:
»» Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009;
»» Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/ 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009.
8. Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
a. Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri.
b. Tarif PPh yang bersifat final adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan, baik yang menyewakan Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan.
PPh Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan (10% dari jumlah bruto nilai persewaan )
c. Jumlah bruto nilai persewaan adalah jumlah yang dibayarkan/terutang oleh penyewa termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, fasilitas lainnya, dan service charge (baik perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan).
d. Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah:
»» Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002;
»» Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002;
»» Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./ 2002;
»» Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./ 1996.
​
9. Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
a. Objek PPh yang bersifat final adalah dividen, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b. Tarif PPh yang bersifat final adalah 10% dari jumlah bruto dividen yang diterima.
PPh atas Dividen yang Diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (10% dari jumlah bruto dividen yang diterima).
c. Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa dividen dipotong oleh pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen.
d. pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen yang melakukan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan atas dividen tersebut melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan diadministrasikan.
e. Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah:
»» Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009;
»» Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/ 2010;
»» Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2012.
10. Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
a. Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
b. Subjek PPh yang bersifat final adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
c. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan:
1) Dalam hal WP baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama sebelum PP Nomor 46 Tahun 2013 berlaku, dasar Peredaran Bruto adalah akumulasi peredaran bruto dari bulan berdiri s.d. bulan sebelum PP Nomor 46 Tahun 2013 berlaku, yang disetahunkan.
2) Dalam hal WP baru terdaftar setelah PP Nomor 46 Tahun 2013 berlaku, dasar peredaran bruto adalah peredaran bruto bulan pertama disetahunkan.
d. Penentuan peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) adalah berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
1) jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
3) usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
4) penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
e. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan yang dikenai PPh yang bersifat final:
1) Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a) Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b) Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukan bagi tempat usaha atau berjualan
2) Wajib Pajak badan:
a) Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b) Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
f. Tarif PPh yang bersifat final atas penghasilan Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah 1% (satu persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.
g. Pembebasan PPh yang bersifat final dapat diberikan kepada Wajib Pajak dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final dengan syarat:
1) Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan Surat PemberitahuanTahunan;
2) Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan Surat Keterangan
Bebas;
3) Menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar;
4) menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya;
5) ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU KUP.
h. Pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan.
i. Permohonan legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dengan syarat:
1) menunjukkan Surat Keterangan Bebas;
2) menyerahkan bukti penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/ atau pemungut berupa Surat Setoran Pajak lembar ke-3 yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 atas:
a) impor;
b) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
c) pembelian hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif dan industri farmasi;
d) pembelian kendaraan bermotor di dalam negeri;
3) mengisi identitas Wajib Pajak pemotong dan/atau pemungut Pajak Penghasilan dan nilai transaksi pada kolom yang tercantum dalam Surat Keterangan Bebas;
4) ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau kuasanya dengan dilampiri Surat Kuasa Khusus sesuai Pasal 32 UU KUP.
j. Penyetoran Pajak Penghasilan yang bersifat final ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN), paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
k. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.
l. Wajib Pajak yang menyetor Pajak Penghasilan yang bersifat final tetapi Surat Setoran Pajaknya tidak mendapat validasi dengan NTPN, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai tempat kegiatan usaha Wajib Pajak terdaftar dengan mengisi baris pada angka 11 formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2):
1) kolom Uraian diisi dengan “Penghasilan Usaha WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu”;
a) kolom KAP/KJS diisi dengan “411128/420.
b) Wajib Pajak dengan jumlah Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) nihil tidak wajib melaporkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2).
m. Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah:
»» Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013;
»» Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013;
»» Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013;
»» Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013.
​
​
​
​
​
​
​
bottom of page