top of page

TEKNIK REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PPh Badan

TEKNIK REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PPh Badan

5.1 Pengertian PPh Badan PPh Badan yaitu pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima badan usaha yang bertempat kedudukan Indonesia. Besarnya PPh yang terutang bergantung pada jumlah besarnya laba sebelum pajak. Laba sebelum pajak dapat diketahui secara akurat jika pembukuan yang dilakukan oleh WP telah sesuai dengan ketentuan prinsip akuntansi berlaku umum dan UU Perpajakan. 5.2 Pembukuan sebagai Dasar Penghitungan Pajak Pembukuan sebagai dasar penghitungan pajak menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, dalam pasal 16 menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak adalah: Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya dan beban seperti yang di-maksud pada pasal 4 ayat (1), pasal 6 dan pasal 9, dan untuk bentuk usaha tetap (BUT) disebutkan pada pasal 5 ayat (2) dan ayat (3). Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa dasar yang dapat digunakan untuk memperoleh besaran laba kena pajak (penghasilan kena pajak) adalah dengan cara penghasilan bruto dikurangi dengan biaya dan beban, cara demikian ini tidak lain adalah pembukuan. Dalam pembukuan ini informasi yang terpenting untuk menghitung PPh yang terutang yaitu penghasilan dan biaya. Proses mat-ching antara penghasilan dengan biaya terrefleksikan dalam Laporan Perhitung-an Laba-Rugi Badan Usaha. 5.3 Klasifikasi Penghasilan dan Biaya 1. Penghasilan di dalam perpajakan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu : a. Penghasilan, Obyek Pajak Penghasilan b. Penghasilan, bukan Obyek Pajak Penghasilan c. Penghasilan Kena Pajak secara Final 2. Sedangkan biaya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu: a. Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya b. Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya 5.4 Penghasilan Badan Usaha (Pasal 4 UU PPh) Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dalam konteks wajib pajak badan, maka berikut ini termasuk pengertian penghasilan meliputi :

1. Laba Usaha 2. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta, 3. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya 4. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang 5. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi 6. Royalty 7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, 8. Keuntungan karena pembebasan utang, 9. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing, 10. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, 11. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. 5.5 Penghasilan Kena Pajak Secara Final 1. Bunga Deposito/ Tabungan, Diskonto SBI 2. Hadiah, Undian 3. Bunga Simpanan Anggota Koperasi 4. Penjualan Saham Pendiri (di luar Bursa Efek) 5. Penjualan Saham milik Perusahaan Modal Ventura 6. Penyalur, Dealer, Agen dari Produk Pertamina dan Premix 7. Penyalur, Grosir dari Terigu, Gula Pasir, Rokok 8. Penghasilan lain dari Usaha di bidang Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri 5.6 Penghasilan bukan Obyek Pajak 1. Bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan yang diterima 2. Warisan 3. Harta setoran tunai sebagai pengganti saham atau penyertaan modal 4. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia 5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham 6. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana 7. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari perusahaan pasangannya 5.7 Pengeluaran Yang Dapat Dibebankan Sebagai Biaya Biaya adalah pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan usaha dalam rangka untuk memperoleh, mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Karena penghasilan ada yang dikelom-pokkan sebagai penghasilan bukan obyek pajak, maka penghasilan yang dimaksudkan dikurangi biaya ini adalah penghasilan yang merupakan

obyek pajak, dan pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau se-lama manfaat dari pengeluaran tersebut. Berikut pengeluaranpengeluaran yang diperkenankan mengurangi penghasilan bruto, meliputi : 1. Biaya untuk mendapatkan/memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan 2. Penyusutan 3. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan 4. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing 5. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia 6. Biaya Bea-Siswa, magang dan pelatihan 5.8 Pengeluaran Yang Tidak Diperkenankan Mengurangi Penghasilan Bruto Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak, atau pengeluaran tidak dilakukan tidak dalam batas-batas kewajaran sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Berikut pengeluaran-pengeluaran yang tidak diperkenankan mengurangi penghasilan bruto: 1. Pembagian Laba dalam bentuk apapun. 2. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu/anggota 3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali untuk bank, leasing dengan hak opsi, usaha pertambangan, dan asuransi 4. Premi asuransi yang dibayar oleh WP Orang Pribadi, kecuali dibayar pemberi kerja 5. Pemberian dalam bentuk natura 6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang punya hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan 7. Harta yang dihibahkan, bantuan/sumbangan dan warisan 8. PPh 9. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi yang menjadi tanggungannya 10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan firma dan CV yang modalnya tidak terbagi atas saham 11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda di bidang perpajakan 5.9 Penghitungan Laba Fiskal 1. Pengertian Laba Fiskal adalah laba yang dihitung berdasarkan ketentuan dan pera-turan undang-undang perpajakan. Laba fiskal ini juga dikenal sebagai la-ba kena pajak atau penghasilan kena pajak. Laba kena pajak ini diguna-kan untuk menghitung pajak penghasilan yang terutang.

2. Koreksi Fiskal Koreksi fiskal bertujuan untuk menyesuaikan laba komersial (yaitu laba yang dihitung menurut Prinsip Akuntansi Berlaku Umum) dengan ketentuan-ketentuan perpajakan sehingga diperoleh laba fiskal. Laporan Perhi-tungan Laba-Rugi yang dibuat perusahaan merupakan laporan keuangan yang disusun berdasarkan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum. Oleh karena itu agar dapat menghitung besarnya pajak penghasilan yang terutang, perusahaan harus melakukan penyesuaian laporan perhitungan rugi-la-banya tersebut agar sesuai dengan ketentuan dan peraturan undang-undang perpajakan. Langkah penyesuaian ini dilakukan dengan cara mencari pos-pos rekening yang berbeda perlakuan antara prinsip akun-tansi berlaku umum dengan ketentuan peraturan undang-undang perpajakan. Pos-pos rekening ini yang perlu dilakukan koreksi fiskal. 3. Timbulnya Koreksi Fiskal Hal-hal yang menimbulkan perbedaan antara Prinsip Akuntansi Berlaku Umum dengan UU Perpajakan antara lain : a. Perbedaan Konsep Penghasilan Contoh: (1) Deviden yang diterima oleh PT, Yayasan, Koperasi, BUMN/BUMD, (2) Sisa Cadangan Kerugian Piutang bagi Bank, Leasing dan Asuransi b. Perbedaan Cara Pengukuran Penghasilan Contoh : Penjualan diukur sebesar jumlah yang dibebankan kepada pembeli tidak melihat apakah ada hubungan istimewa atau tidak. c. Perbedaan Konsep Biaya Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah semua pengorbanan ekonomis dalam rangka memperoleh barang dan jasa. Tidak terbatas hanya biaya untuk mendapatakan, menagih dan memelihara penghasilan saja. Singkatnya, biaya menurut pajak adalah pengeluaran-pengeluaran yang ada kaitan langsung dengan perolehan penghasilan d. Perbedaan Cara Pengukuran Biaya Sama dengan cara pengukuran penghasilan, jika ada transaksi yang tidak wajar karena hubungan istimewa maka transaksi tersebut harus dikoreksi. e. Perbedaan Cara Pembebanan atau Alokasi Biaya Contoh : (1) Penyusutan, hanya metode Garis Lurus dan Saldo Menurun dengan tarif yang telah ditentukan. (2) Pengakuan Kerugian Piutang hanya menggunakan metode langsung (3) Penilaian Persediaan hanya menggunakan metode rata-rata dan FIFO

f. Adanya penghasilan yang kena pajak penghasilan secara final. Penghasilan yang dikenakan pajak secara final berarti telah diperhitungkan pajak penghasilannya sehingga tidak perlu diperhitungkan lagi dalam menghitung pajak penghasilan di akhir tahun maka harus dikeluarkan dari laporan perhitungan laba-rugi 4. Jenis Koreksi Fiskal a. Koreksi Fiskal Positif Koreksi Fiskal Positif (FKP) adalah koreksi fiskal yang menambah besarnya laba kena pajak. b. Koreksi Fiskal Negatif Koreksi Fiskal Negatif (FKN) adalah koreksi fiskal yang mengurangi laba kena pajak 5. Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal No Nama Koreksi Fiskal Rekening Lap.Keu.Komer sial Positif Negatif Lap.Keu.Fis kal 6. Contoh Kasus PT. MICHELIN Tbk (Terbuka) yang berdiri 1 Januari 2005 berusaha di bidang pertenunan. Berikut ini laporan laba-rugi yang berakhir 31 Desember 2009 :

PT. MICHELIN Tbk (Terbuka) Laporan Perhitungan Laba-rugi per 31 Desember 2009

Penjualan Rp. 765.300.000,00 HPP (Rp. 450.000.000,00) Laba Kotor Rp. 315.300.000,00 Total Biaya Usaha (Rp. 212.900.000,00) Laba Sebelum Pajak Rp. 102.400.000,00 Pajak Penghasilan (Rp 13.220.000,00) Laba Setelah Pajak Rp 89.180.000,00 Total Biaya Usaha tersebut terdiri dari : a. Gaji karyawan Rp. 120.000.000,00 b. Penyusutan mesin Rp. 10.000.000,00 c. Penyusutan gedung Rp. 25.000.000,00 d. Penyusutan tanah Rp. 2.000.000,00 e. Biaya pengeluaran saham Rp. 500.000,00 f. Premi asuransi kebakaran Rp. 200.000,00

g. Sumbangan korban Merapi Rp. 100.000,00 h. Piutang ragu- ragu Rp. 500.000,00 i. Cadangan umum Rp. 20.000.000,00 j. Deviden yang dibayar Rp. 30.000.000,00 k. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp. 4.600.000,00 Total Biaya Usaha Rp. 212.900.000,00 Informasi Tambahan: 1) Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp. 120.000.000,00 termasuk juga pengeluaran pribadi direktur utama sebesar Rp. 150.000,00 sebulan untuk biaya sopir dan iuran asuransi kecelakaan dan kematian karyawan Rp. 10.000.000,00 dan beras yang dibagikan kepada karyawan Rp. 2.000.000,00 2) Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 50.000.000,00 dari nilai yang dilaporkan dalam laporan rugilaba. 3) Harga perolehan mesin adalah Rp. 50.000.000,00 dan disusutkan setahun 20% (metode saldo menurun), mesin tersebut memiliki masa manfaat 4 tahun 4) Gedung dengan harga perolehan Rp. 250.000.000,00 disusutkan sebesar 10% setahun (metode garis lurus) 5) Tanah disusutkan 2% setahun (metode garis lurus) 6) Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata telah mening-galkan Indonesia untuk selamanya tanpa diketahui alamatnya 7) Cadangan umum adalah penyisihan laba untuk tujuan umum (merupakan pem-bentukan cadangan). Diminta : Buatlah laporan rekonsiliasi fiskal, dan hitunglah PPh yang masih harus dibayar. (a) Buatlah kertas kerja koreksi untuk menghitung laba-rugi fiskal PT. MICHELIN Tbk per 31 Desember 2009! (b) Tentukan besarnya PPh yang terutang dan PPh yang masih harus dibayar oleh PT. MICHELIN Tbk untuk masa pajak 2009! 7. Penyelesaian Penjelasan : a. Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp. 120.000.000,00 termasuk juga pengeluaran pribadi direktur utama sebesar Rp. 150.000,00 sebulan untuk biaya sopir dan iuran asuransi kecelakaan dan kematian karyawan Rp. 10.000.000,00 dan beras yang dibagikan kepada karyawan Rp. 2.000.000,00 Analisis : Karena Rp 150.000,00 merupakan pengeluaran pribadi, maka tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan,sehingga dalam satu

tahun (Rp 150.000,00 X 12 bln) jumlahnya Rp 1.800.000,00. Demikian pula untuk iuran asuransi kecelakaan dan kematian karyawan yang dibayar oleh karyawan Rp 10.000.000,00 juga tidak boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan. Adapun beras yang dibagikan kepada karyawan termasuk natura sehingga tdk boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan. Total koreksi sejumlah Rp 13.800.000,00 harus dikoreksi fiscal positif karena koreksi ini mengakibatkan laba kena pajaknya meningkat. b. Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 50.000.000,00 dari nilai yang dilaporkan dalam laporan rugi-laba. Analisis : Stock opname merupakan cara penghitungan persediaan akhir secara fisik atau secara langsung. Nilai persediaan akhir ini berpengaruh pada nilai harga pokok penjualan. Jika hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi Rp 50.000.000,00 dari nilai yang dilaporkan dalam laporan rugilaba, maka nilai persediaan akhir tersebut perlu dikoreksi agar sesuai dengan nilai persediaan akhir sesungguhnya. Akibatnya harga pokok penjualan juga perlu dikoreksi, jika nilai perse-diaan akhir naik sebesar Rp 50.000.000,00, maka harga pokok penjualan-nya akan turun Rp 50.000.000,00. Turunnya harga pokok penjualan ini berakibat naiknya laba kotor atau laba kena pajak, maka koreksi sebesar Rp 50.000.000,00 ini disebut koreksi fiscal positif. c. Harga perolehan mesin adalah Rp. 50.000.000,00 dan disusutkan setahun 20% (metode saldo menurun), mesin tersebut memiliki masa manfaat 4 tahun. Analisis : Penyusutan merupakan cara penghitungan manfaat ekonomis dinikmati atau terpakai selama satu tahun. Nilai penyusutan ini akan mempengaruhi nilai ekonomis dari mesin tersebut. Peraturan Perpajakan menetapkan bahwa tarif penyusutan untuk harta tetap yang disusutkan dengan metode saldo menurun sebesar 50% dari harga perolehannnya. Dengan demikian, wajib pajak dalam melakukan penyusutan harta tetapnya ini kurang 30%, sehingga besarnya penyusutan mesin ini perlu ditambah atau dikoreksi sebesar 30% dari harga perolehannya yaitu 30% X Rp 50.000.000 atau Rp 15.000.000,00. Karena adanya penambahan biaya penyusutan ini, biaya penyusutannya menjadi lebih besar atau naik sebesar Rp 15.000.000,00. Hal ini menjadikan turunnya laba kena pajak sebesar Rp 15.000.000,00 juga maka koreksi fiskalnya disebut koreksi fiskal negatif.

d. Gedung dengan harga perolehan Rp. 250.000.000,00 disusutkan sebesar 10% setahun (metode garis lurus) Analisis : Peraturan Perpajakan mengklasifikasikan bangunan menjadi bangunan permanen dan bangunan tidak permanen. Besarnya tarif penyusutan untuk bangunan permanen sebesar 5% dan bangunan tidak permanen sebesar 10% dari harga perolehannya. Karena gedung merupakan bangunan permanen, maka tarifnya 5% X Rp 250.000.000,00, sehingga besarnya penyusutan bukan Rp 25.000.000,00 tetapi Rp 12.500.000,00. Oleh karena itu biaya penyusutan gedung perlu dikoreksi menjadi Rp 12.500.000,00, atau biayanya turun Rp 12.500.000,00. Turunnya biaya penyusutan ini berakibat naiknya laba kotor atau laba kena pajak, maka koreksi sebesar Rp 12.500.000,00 ini disebut koreksi fiskal positif. e. Tanah disusutkan 2% setahun (metode garis lurus) Analisis : Tanah, dalam UU Perpajakan tidak boleh disusutkan, kecuali tanah yang digunakan produksi, misal untuk pembuatan batu bata, genting, gerabah dan sejenisnya. Tidak berlaku jika tanah yang digunakan untuk memproduksi batu-bata, genting dan sejenisnya tersebut dari hasil membeli. Dengan demikian, penyusutan atas tanah ini harus dikoreksi atau harus dikeluarkan dari cara penghitungan laba kena pajak. Akibat koreksi terhadap biaya penyusutan tanah ini, maka laba kena pajaknya akan naik sebesar penghapusan biaya penyusutan tanah tersebut, maka koreksi fiscal ata biaya penyusutan tanah sebesar Rp 2.000.000,00 ini disebut koreksi fiscal positif. f. Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata telah meninggalkan Indonesia untuk selamanya tanpa diketahui alamatnya Analisis : Metode penghapusan piutang, dalam akuntansi ada 2 (dua) yaitu metode indirect (tidak langsung) dan metode direct (langsung). Metode Indirect, penghapusan piutang menggunakan cara taksiran terhadap piutang yang telah melebihi waktu tagihannya. Semakin lama umur tagihan piutang maka dimungkinkan semakin kecil tingkat tertagihnya. Piutang yang tidak dimungkinkan ditagih dianggap sebagai Kerugian Piutang, sehingga cara ini dikenal sebagai metode Cadangan Kerugian Piutang. Adapun metode direct, penghapusan piutang jika benar-benar telah tidak dapat ditagih secara riil, tidak berdasar taksiran. UU Perpajakan menggunakan metode langsung ini, untuk menghapuskan piutang yang tidak tertagih. Pada kasus ini, maka piutang ragu-ragu ini dapat diklasifikasikan sebagai piutang yang tidak dapat ditagih secara riil, sehingga telah sesuai dengan aturan perpajakan dan dapat diperlakukan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung laba kena

pajak. Dengan demikian dalam hal ini tidak terjadi koreksi fiskal. g. Cadangan umum adalah penyisihan laba untuk tujuan umum (merupakan pem-bentukan cadangan). Analisis : Segala macam dan jenis pembentukan cadangan tidak diperkenankan dalam perpajakan maka cadangan umum ini harus dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur pengurang penghasilan. Karena cadangan sifatnya mengurangi laba kena pajak maka adanya koreksi terhadap cadangan umum ini maka laba kena pajak menjadi bertambah maka koreksinya disebut koreksi fiskal positif. h. Sumbangan korban merapi Analisis : Segala macam dan jenis sumbangan tidak diperkenankan dalam perpajakan kecuali sumbangan yang diatur secara resmi oleh Pemerintah melalui peraturan pemerintah misal sumbangan GNOT, PMI dan sejenisnya. Sumbangan korban merapi ini tidak dapat dikategorikan dalam jenis ini, maka harus dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur pengurang penghasilan ( mengurangi laba kena pajak), sehingga adanya koreksi terhadap sumbangan korban merapi ini, laba kena pajak menjadi ber-tambah maka koreksinya disebut koreksi fiskal positif. i. Deviden yang dibayar Analisis : Segala macam pembayaran deviden dalam perpajakan tidak diperkenakan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung laba kena pajak, sehingga perlu dilakukan koreksi. Akibatnya laba kena pajak akan bertambah, maka koreksinya disebut koreksi fiskal positif. j. PPh Pasal 25 Analisis : Segala macam dan jenis pajak penghasilan serta sanksi perpajakannya tidak diperkenankan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung laba kena pajak maka adanya koreksi terhadap pajak penghasilan pasal 25 (PPh Pasal 25) ini laba kena pajak menjadi bertambah sehingga koreksinya disebut koreksi fiskal positif.

Silahkan Download File.Pdf Klik Disini


Featured Posts
Recent Posts
Search By Tags
Belum ada tag.
Connect
  • Google+ Social Icon
  • Facebook Social Icon
  • LinkedIn Social Icon
  • Twitter Social Icon
bottom of page